BONTENG PETOT, AKAR RUMPUT, PUNTUNG ROKOK

​     (Bonteng petot, akar rumput puntung rokok).


Tidak perlu pakai angka statistik deh, ini adalah fakta saya. Bukan seseorang yang terlahir dari kalangan penguasa, bukan dari kalangan pengusaha atau priyayi atau birokrat. 

Cuma terlahir dari seaeorang yang luar biasa yang membuat hidup saya sperti ini sampai detik ini. Seperti “seorang” yang baru belajar menyadari siapa saya, dari mana dan mau kemana, apa yang dibawa. Seperti “seseorng” yang baru belajar mengenal dan untuk belajar memahami makna tanggung jawab saat ini hingga nanti. Belajar menyadari dan belajar meyakini bahwa hidup ini akan menuntut pertanggung jawaban, terlebih dalam keragaman diabad  transformasi sosial, informatika dan teknologi, diabad perubahan sosio-kultural dari karakter agraris menuju industri. 

Sebagai seseorang yang terlahir dikalangan marginal, yang semakin ingin berontak karena tekanan “bagi  subyektif” pribadi saya karna melihat  “kelompok” penguasa lahan untuk membangun  properti dengan misi visinya didalam zona   “tersendiri”, terlebih bagi pengembang besar untuk membangun area eksklusif yang depensif, juga dengan master plant yang membawa muatan perubahan soio-kultural tersendiri. 

Sebagai seseorng yang berpikir sederhana dengan segudang kegalauan karena semakin terpragmentasinya pola pemikiran “peribadi saya” yang berada dipase transisi, melihat kondisi perubahan sosial yang tercabut bahkan terpisah dari akar kultur lokal yang nota bene terkristal di kebhinekaan, Pancasila, dan keutuhan.

Sebagai seseorang yang galau, karena transformasi sosial (ekonomi, politik, budaya) yang secara spesifik kecepatannya tidak berimbang dengan sumber daya manusianya. Sehingga saya beropini seakan bahwa bagian dari kita sebagai manusia, itupun dijadikan obyek yang ditelan abis seperti benda mati yang tidak diperhitungkan harga dirinya, BAHKAN SEMUA DIANTARA KITA (dalam pandangan subyektif saya) cuma dihitung  seperti benda mati yang diukur hanya dengan harga jual. 

Kaum kapitalis dan borjuis sama halnya penguasa tirani, lebih dominan memandang manusia atau rakyat semata hanya mangsa (obyek) untuk kepntingannya. Walaupun mereka sama sebagai manusia, mereka menganggap manusia lain atau rakyat bukan lagi  dianggap sebagai bagian KALAM TUHAN yang sempurna. Bahkan secara tidak langsung, mereka cenderung berperinsip orang lain atau rakyat, tidak lagi dianggap sebagai manusia yang sama sebagai mahluk Tuhan, yang pula bisa berpikir, bahkan bisa untuk dibantu (dan atau diajak untuk saling membantu), bahkan bisa didewasakan dan dididik hingga sampai ke peradabannya sebagai mahluk yang beradab. Bahkan seperti patron-klien.

Memang realitasnya hanya ada si KERJA, si KARYA dan si KAYA. Akan tetapi pada posisi manapun, si (bonteng petot, akar rumput, puntung rokok : dalam verbal saya), harus tetap sadar sebagai mahluk yang punya pemahaman dan kesadaran serta tanggung jawab kepada dirinya, kepada lingkungannya, kepada alamnya, terlebih kepada Tuhan. si Bonteng petot, akar rumput dan puntung rokok, harus tetap menjadi peribadi yang menyadari bahwa kehidupan ini dibatasi oleh ruang dan waktu, sehingga peribadinya menyadari perlunya managemen hidup dan harus memilih jalan terbaik untuk kehidupannya. 

Si bonteng petot, si akar rumput dan si puntung rokok, harus tetap jadi dirinya di posisi manapun dia berada, pada situasi dan kondisi apapun harus tetap sadar bahwa pribadinya adalah mahluk yang bisa berpikir, memiliki rasa dan keyakinan, sehingga dirinya harus tetap berjuang dan berperang melawan dirinya sendiri agar dirinya tetap bisa menjaga keseimbangan hidup. Demikian itu pula, pribadinya hrus tetap berbuat baik, belkerja keras, berkarya selanjutnya mengabdi. 

Catatan : Memang “TUHAN TIDAK PERLU DIBELA”, dengan segala kudrat pastinya renaissanse pasti terjadi. Cuma paling tidak, mengisi rentang waktu, dalam interval usia yang terbatas, tidak ada salahnya peduli kepada kehidupan sebagai realisasi atas makna kalam tuhan pada ciptaannya. Demikian itu pula, pasti kembali kepada diri kita sendiri, hanya itu yang disadari dalam  pemahaman sederhana ini, karena seberapa besar pedulinya kepada alam, maka feedback-nya untuk pribadi itu. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIDAK KAH KEYAKINAN KEPADA AJARAN AGAMA ITU ADLAH PULA SUMBER DAYA ? dan TIDAK KAH ILMU PENGETAHUAN JUGA SUMBER DAYA. ??? (dalam perspektif 21 susunan dzikir sabilul munjiat)

sabilul munjiat dan software alam

Sabilulmunjiat mengapa ??